Thursday, August 13, 2009

Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional

Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional

Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Pidana Internasional

Dosen Pengampu: Dadang Siswanto SH MH

Oleh :

Ferry Fathurokhman

NIM : B4A 008058

Kelas SPP (Sistem Peradilan Pidana)

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2 0 0 9

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT sebagai pemilik bumi ini karena atas izinnya makalah ini dapat selesai (ditengah menumpuknya tugas perkuliahan). Shalawat dan salam semoga selalu tercurah pada nabi Muhammad SAW.

Kata pengantar pada makalah ini dirasa menjadi urgen ditulis untuk memahami makalah ini. Makalah ini tidak disusun seperti makalah pada umumnya. Penulisannya diupayakan dibuat dengan lebih mengalir dan tidak kaku. Ide penulisan makalah ini berasal dari buku Prof Tjip (sapaan Satjipto Rahardjo) yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir yang Diterbitkan Kompas. Daftar pustaka sengaja tak penulis cantumkan. Namun bukan berarti makalah ini tak ilmiah. Makalah ini dibuat berdasarkan beberapa buku seperti : Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi karya I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional karya Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional (Bahan Ajar) karya
Bapak Dadang Siswanto, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia karya Barda Nawawi Arief Semarang. Hukum Pidana I karya Sudarto, Delinkuensi anak karya Paulus Hadisuprapto dan berbagai informasi mengenai kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta yang telah menjadi pengetahuan khalayak umum.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada bapak Dadang Siswanto selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Internasional pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang telah memberikan ilmu dan kelonggaran dalam membuat makalah sebagai tugas akhir dari mata kulias Hukum Pidana Internasional.

Sebagai sebuah karya, makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan dan membutuhkan kritikan dan koreksi atas penyajiannya. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran atas makalah ini ada sebagai perbaikan dalam penulisan makalah-makalah lain ke depan.

Semarang, 8-9 Juli 2009

Ferry Fathurokhman

  1. Pendahuluan

Eksistensi kedaulatan negara-negara di dunia adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui keberadaannya. Keadaan tersebut mengakibatkan hubungan antar negara menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hubungan antar negara tersebut dapat berupa suatu hubungan yang baik (positive relation of state) atau hubungan yang kurang baik (negative relation of state). Hubungan antar negara yang pertama biasanya berbentuk kerja sama antar dua negara dalam berbagai hal seperti: perjanjian di bidang ekonomi, pertahanan keamanan, program pertukaran budaya, hingga perjanjian yang bersifat preventif dalam menangani kejahatan yang melibatkan dua wilayah negara seperti yang membutuhkan suatu perjanjian seperti ekstradisi. Sementara hubungan yang kedua biasanya dipicu melalui konflik yang melibatkan kepentingan dua negara yang berbeda. Konflik tersebut bentuknya dapat beragam misalnya terjadi kejahatan yang melibatkan dua warga negara yang berbeda, sengketa batas teritorial dua negara, hingga kebijakan suatu negara yang berdampak pada negara lain.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan persinggungan antar negara mudah terjadi dan hampir tanpa batas (borderless). Globalisasi dan perkembangan zaman menjadikan orang asing maupun WNI (warga negara Indonesia) mudah melintasi batas negara dan berada di wilayah negara lain. Dewasa ini kita mulai tidak begitu aneh lagi melihat orang dari berbagai negara seperti Jepang, Malaysia, Amerika berada di Indonesia dengan berbagai kepentingan: bekerja, belajar, wisata, bisnis dan lain-lain. Sama halnya dengan WNI yang juga mulai tidak asing berada di negara luar dengan intensitas kunjungan yang semakin sering dengan berbagai kepentingan pula: bekerja, belajar, wisata, bisnis dan lain-lain.

Kondisi ini di satu sisi mendatangkan dampak yang positif: pertumbuhan perekonomian, pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Namun kondisi tersebut juga mendatangkan dampak yang negatif yang tidak menutup kemungkinan adalah terjadinya kejahatan.

Kejahatan yang terjadi yang melibatkan dua negara (baik melibatkan dua kewarganegaraan maupun lintas batas teritorial negara) menjadi suatu kemungkinan yang akan sering terjadi. Dalam konteks ini kemudian kita mengetahui berbagai kasus dewasa ini kembali muncul seperti penyiksaan yang dilakukan warga negara Malaysia terhadap warga negara Indonesia. Penyiksaan itu umumnya terjadi pada WNI yang bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) seperti yang baru-baru ini terjadi pada Siti Hajar dan Modesta, dua orang TKW yang dihajar majikannya hingga memar dan meninggalkan cacat pada bagian tubuh tertentu. Hal menarik terjadi pada Manohara Odelia Pinot, seorang WNI blasteran Sulawesi dan Amerika Serikat. Manohara bukanlah TKW, ia adalah WNI yang diperistri Putera Raja Kelantan, Malaysia. Manohara mengaku kerap mendapatkan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari suaminya, Tengku Fahri. Persoalan Manohara menjadi unik karena kini oknum warga negara Malaysia tidak saja 'biasa' menyiksa TKW Indonesia tetapi kini merambah pada menantu seorang raja di negara bagian Malaysia. Kejahatan tersebut tentu saja menimbulkan akibat hukum yang tidak sederhana. Ketidaksederhanaan tersebut muncul karena kejahatan yang terjadi bukanlah kejahatan biasa pada umumnya. Kejahatan tersebut melibatkan dua kewarganegaraan yang berbeda yang berdampak pada sistem hukum masing-masing negara. Peristiwa hukum ini kemudian menjadi permasalahan tersendiri dalam kerangka kajian Hukum Pidana Internasional. Makalah ini mencoba menjawab permasalahan yang muncul, paling tidak ada dua masalah yang dapat dikemukakan : Apakah kejahatan tersebut merupakan tindak pidana/kejahatan internasional (international crime)?; Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan pada kasus tersebut?

  1. Rumusan Masalah

Sebagaimana pada bagian akhir bab pendahuluan, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:


Perspektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sudut pandang atau pandangan. Dengan demikian sesuai dengan judul makalah ini "Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional", maka makalah ini pada hakikatnya ingin 'memotret' kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam sudut pandang Hukum Pidana Internasional. Sudut pandang tersebut kemudian dikerucutkan menjadi dua permasalahan utama yaitu : Apakah kasus penganiayaan atas Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional?; Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan dalam penegakan hukum kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta?

Pada permasalahan pertama kita membutuhkan suatu guidance untuk menentukan apa kriteria suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan internasional?

Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), seorang Jerman yang juga tokoh aliran mazhab sejarah menentang pengodifikasian hukum. Von Savigny pernah menyatakan bahwa sejarah berkembang terus, tetapi hukum telah ditetapkan. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan kritik terhadap hukum yang secara rigid dituliskan, sementara masyarakat berkembang, kejahatan berkembang, kejahatan baru akan muncul atau bahkan terjadi dekriminalisasi atas suatu kejahatan dalam perspektif masyarakat, namun hukum telah terlanjur ditetapkan dan tak dapat menjangkau perkembangan tersebut.

Pernyataan Savigny tersebut menjadi relevan dalam konteks hukum pidana internasional. Kejahatan dalam hukum pidana internasional telah ditetapkan, tetapi sejarah berkembang terus, kemungkinan kejahatan baru muncul dapat terjadi. Bagaimana cara menentukan apakah kejahatan tersebut merupakan kejahatan internasional atau bukan? Kita membutuhkan guidance / ilmu untuk menentukannya.

Sebelum membahas persoalan diatas, kita akan membahas sekilas apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional agar pembahasan makalah ini menjadi komprehensif. Cherif Bassiouni
pernah
menjelaskan Hukum Pidana Internasional dengan sangat baik dengan cara yang sederhana. Menurutnya Hukum Pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dalam hukum pidana.

Aspek pidana di dalam hukum internasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang dilakukan perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau kolektif/kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan pidana.

Sedangkan yang dimaksud dengan aspek internasional di dalam hukum pidana nasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional yang mengatur kerja sama internasional di dalam masalah-masalah kejahatan yang melibatkan perorangan, yang melanggar hukum pidana dari negara-negara tertentu.

Setelah mengetahui definisi hukum pidana internasional, kini kita beralih pada permasalahan pertama pada makalah ini: Apakah kasus penganiayaan atas Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional.

Untuk dapat menentukan suatu kejahatan merupakan kejahatan internasional atau bukan, Bassiouni secara cerdas merumuskan kriteria tindak pidana internasional sebagai guidance.

Ciri pokok suatu tindak pidana internasional adalah adanya unsur internasional, transnasional, dan necessity element (unsur kebutuhan).

Secara berurutan penjelasan ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:

Kebutuhan akan kerjasama antar negara-negara untuk melakukan penanggulangan.

Untuk dikategorikan sebagai sebuah kejahatan internasional tidak diperlukan ketiga unsur tersebut terpenuhi. Meskipun suatu kejahatan hanya memenuhi satu unsur di atas, maka ia telah dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional.

Dari penjelasan Bassiouni tersebut kita mengetahui bahwa peristiwa hukum yang menimpa Manohara, Siti Hajar dan Modesta adalah merupakan kejahatan internasional. Penganiayaan terhadap Siti Hajar dan Modesta telah memenuhi unsur internasional (menggoyahkan perasaan kemanusiaan/shocking to the conscience of humanity). Tubuh Siti Hajar dihajar habis-habisan, mukanya memar demikian juga beberapa bagian tubuhnya yang lain, kepalanya sering dipukul jika majikannya kesal. Modesta lebih tragis lagi, kedua daun telinganya cacat, bentuknya menggambarkan bekas pukulan yang tampak berkelanjutan. TKW Indonesia yang menjadi korban sebenarnya bukan hanya Siti Hajar dan Modesta, keduanya hanyalah korban yang kesekian kalinya. Kasus TKW Indonesia yang disiksa majikan juga telah memenuhi dua kriteria lainnya yang dikonsepsikan Bassiouni: transnasional dan necessity.

Manohara berusia 16 tahun saat ia menikah dengan Tengku Fahri, putra Raja Kelantan, Malaysia. Selama hidupnya di istana, Manohara mengaku kerap mendapatkan perlakuan buruk seperti torture (penyiksaan), sex abuses (penyiksaan seksual) dan child abuse (perlakuan kejam terhadap anak).


Dalam kasus Manohara, unsur transnasional telah terpenuhi. Pengakuan Manohara tentang penyiksaan yang dialaminya merupakan tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara karena melibatkan Indonesia dan Malaysia. Kasus penyiksaan Manohara juga merupakan tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara (Manohara merupakan WNI).


Selain penjelasan di atas, Bassiouni pernah menginventarisir berbagai jenis kejahatan internasional dan menempatkan slavery and related crimes as torture sebagai kejahatan internasional. Maka dengan demikian kasus penyiksaan yang dialami Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional.


Permasalahan Yurisdiksi

Kini kita beralih pada permasalahan berikutnya: Yurisdiksi negara mana yang dapat diberlakukan dalam penegakan hukum kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta?

Sebagaimana ditulis sebelumnya bahwa Hukum Pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dalam hukum pidana.

Dari pengertian tersebut maka dapat kita ketahui bahwa asas-asas hukum pidana nasionalpun menjadi dasar hukum pidana internasional dengan catatan asas-asas tersebut memiliki dimensi/aspek internasional

Beberapa asas-asas hukum pidana yang dapat berhubungan dengan aspek internasional adalah:


Asas Teritorialitas.

PAF Lamintang pernah mengutip Simon dalam menjelaskan makna asas ini. Asas ini bermakna berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu telah dilakukan, dan tempat tersebut haruslah terletak didalam wilayah negara yang bersangkutan.

Asas ini jelas tidak dapat dipakai pada Manohara, Siti Hajar dan Modesta karena locus delicti-nya berada di Malaysia, bukan di Indonesia.

Asas Nasional Aktif atau Personalitas atau Asas Kebangsaan (Personaliteits beginsel/nationaliteits beginsel).

Asas ini bermakna undang-undang pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan terhadap warganegaranya dimanapun mereka itu berada, bahkan juga seandainya mereka itu berada di luar negeri. Tertuang dalam Pasal 3, 5-8 KUHP.

Pasal 5 dan 6 KUHP dikenal juga sebagai asas personalitas terbatas atau nasional aktif yang dibatasi penggunaannya, lebih lanjut akan diterangkan sebagai berikut:

Pasal 5 ayat 1 ke 2 berarti bahwa asas nasional aktif dapat ditegakan jika perbuatan yang dilakukan seorang WNI (warga negara Indonesia) di negara luar dirumuskan sebagai kejahatan dan dalam perundang-undangan Indonesia perbuatan tersebut juga dirumuskan sebagai kejahatan. Sehingga asas ini mensyaratkan adanya prinsip double criminality di kedua negara. Sekiranya seorang WNI melakukan Aborsi di suatu negara yang negara tersebut tidak merumuskan aborsi sebagai kejahatan sementara Indonesia merumuskan aborsi sebagai kejahatan, maka WNI tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban meskipun ia kembali ke Indonesia.

Pasal 5 ayat 2, penuntutan perkara sebagaimana dimaksud ke 2, dapat juga dilakukan jika terdakwa menjadi warga negara setelah perbuatan dilakukan. Misalnya seorang warga negara Singapura melakukan pembunuhan, maka sekiranya warga negara Singapura tersebut berniat lari dari pertanggungjawaban pidana dengan cara melarikan diri ke Indonesia dan menjadi WNI, maka orang tersebut dapat di adili di Indonesia karena Indonesia juga merumuskan pembunuhan sebagai kejahatan. Orang tersebut diadili sebagai WNI bukan sebagai warga negara Singapura.

Pasal 6 KUHP

Pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi tidak dapat dijatuhi hukuman mati jika menurut perundang-undangan di negara locus delicti tidak diancam pidana mati. Ini berarti bahwa sekalipun di Indonesia perbuatan yang dilakukan seorang WNI di luar negeri diancam dengan pidana mati, namun jika negara dimana perbuatan tersebut dilakukan tidak mengancam dengan pidana mati, maka pidana mati tidak dapat dijatuhkan.

Asas ini juga tidak dapat menjadi dasar untuk menegakan hukum pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta di Indonesia karena asas ini lebih menekankan WNI yang menjadi pelaku kejahatan (sesuai yurisdiksi kriminal Indonesia) di luar wilayah Indonesia. Manohara, Siti Hajar dan Modesta berstatus sebagai korban di Malaysia, bukan sebagai pelaku.

Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan

Berlakunya undang-undang pidana suatu negara itu tidak tergantung pada tempat seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut. Dan Negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasaran tindak pidana itu, berwenang menghukum pelaku tindak pidana tersebut. Dalam KUHP, pengaturan asas nasional pasif ini digabung dengan asas universal dalam pasal 4 KUHP dan "kepentingan nasional" yang akan dilindungi juga dirumuskan secara limitatif/enumeratif yang rigid, yaitu berupa:


Di samping itu, ada pula "kepentingan nasional" yang juga merupakan "kepentingan internasional/universal" yang diatur dalam Pasal 4 ke-4 KUHP jo. UU No. 4 tahun 1976, berupa:


Berdasarkan asas ini, warga negara seperti Manohara, Siti Hajar dan Modesta belum diakomodir sebagai "kepentingan nasional". Kepentingan hukum dari asas nasional pasif yang sekarang berlaku hanya mengakomodir kepentingan negara yang belum menyentuh pada warga negaranya (kecuali Presiden). Maka asas ini pun tidak dapat dijadikan dasar untuk memproses hukum dan mengekstradisi pelaku kejahatan pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta ke Indonesia.

Namun hal yang menggembirakan adalah Konsep KUHP ke depan memperluas "kepentingan nasional" terhadap warga negara. Di dalam konsep KUHP 2004-2007, asas nasional pasif diatur dalam pasal tersendiri (yaitu diatur dalam pasal 4), terpisah dari asas universal. Bunyi lengkap pasal 4 tersebut adalah sebagai berikut:

Asas Nasional Pasif

Pasal 4

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap :

a. warga negara Indonesia; atau

b. kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan :

1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;

2. martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat Indonesia di luar negeri;

3. pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata uang, kartu kredit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia;

4. keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan ;

5. keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional (negara Indonesia);

6. keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik;

7. tindak pidana jabatan/korupsi; dan/atau

8. tindak pidana pencucian uang.

Hal yang menarik dari Pasal 4 Konsep diatas, yang berbeda dengan KUHP sebelumnya, ialah:


Namun mengingat Konsep KUHP kita belum disahkan menjadi undang-undang, maka pelaku kejahatan pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta tidak dapat diproses hukum di Indonesia. Sekalipun Konsep KUHP telah disahkan, dalam prakteknya akan ditemukan kendala dalam mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut. Hal tersebut disebabkan kemungkinan kecilnya willingness Malaysia sebagai pihak negara diminta ditambah dengan adanya asas tidak menyerahkan warga negara dalam ekstradisi.


Asas Universalitas atau Asas Persamaan

Asas ini berarti bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain. Seperti telah dikemukakan di atas, asas universal dalam KUHP yang berlaku saat ini, diatur bersama-sama dengan asas nasional pasif (dalam pasal 4) dan hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan tertentu (termaktub dalam pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP. Pasal 438 , 444-446 dan 447 KUHP (kejahatan pelayaran). Demikian pula dalam konsep 2000-2002 dan sebelumnya.

Dalam Konsep 2004-2007, "kepentingan internasional/universal/global" yang akan dilindungi, tidak dengan cara menyebut kejahatan-kejahatan internasional tertentu secara limitatif, tetapi dirumuskan secara umum/terbuka agar dapat menampung perkembangan dari kesepakatan internasional.

Redaksi lengkap dari asas universal di dalam Konsep sebagai berikut :

Asas Universal

Pasal 5

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Dengan asas universal ini, sebetulnya ada peluang kemungkinan dimintakannya pelaku pada penyiksaan Manohara, Siti Hajar dan Modesta. Namun kemungkinan tersebut kecil dan lemah karena dari berbagai penjelasan di atas kita memiliki peluang yang kecil dalam hal yurisdiksi. Kecilnya kemungkinan tersebut juga menandakan sebaliknya, kewenangan menerapkan yurisdiksi ada pada Malaysia sebagai negara locus delicti. Selain itu Malaysiapun memiliki asas teritorial (berkaitan dengan locus delicti) yang memperkokoh yurisdiksi penegakan hukum atas kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta.

Dari uraian panjang tersebut jelas bahwa kewenangan yurisdiksi untuk menegakan hukum pada kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta ada pada Malaysia, bukan Indonesia.

Penegakan hukum dalam kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta dalam terminologi hukum pidana internasional dikenal sebagai penegakan hukum pidana internasional yang sifatnya indirect. Ini berarti penegakan hukum pidana internasional yang diselenggarakan oleh hukum pidana nasional. Bukan penegakan hukum pidana internasional yang sifatnya direct seperti pada kasus Rwanda, Yugoslavia atau kasus lain yang diadili oleh ICC (International criminal court).

Hal 'aneh' dari Manohara dan Pengacara.

Manohara akhirnya berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah ibunya gigih berjuang dan banyak mendapatkan simpati. Ia akhirnya berniat menggugat, berencana meperkarakan suaminya Tengku Fahri. Manohara mengaku lehernya pernah disetrika, keningnya ditempeli bara rokok. O.C. Kaligis, pengacara senior Indonesia menaruh simpati menjadi kuasa hukumnya. Ia telah bersedia tak menerima bayaran dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bahan laporan pada kepolisian Malaysia.

Keanehan terjadi, dokter untuk visum telah disiapkan Kaligis untuk lampiran laporan pada kepolisian Malaysia, namun Manohara bergeming. Ia sedang tidur siang karena kelelahan menghadiri undangan dari berbagai stasiun televisi. Kaligis menangkap keanehan, kenapa roadshow ke program infotainment terus berjalan tapi untuk persoalan hukumnya terkesan diundur-undur. Kaligis lalu mengundurkan diri sebagai kuasa hukum Manohara.

Hotman Paris Hutapea dan Farhat Abas kemudian menjadi kuasa hukum Manohara menggantikan OC Kaligis. Farhat kemudian mengeluarkan statement akan menyomasi OC Kaligis karena pengunduran Kaligis dipandang menyudutkan posisi Manohara. Statemen Farhat tersebut dirasa aneh karena terjebak (atau sengaja mengalihkan) dalam persoalan yang seharusnya tak dipersoalkan dengan melupakan persoalan pokok kasus Manohara. Langkah aneh kemudian dilakukan para pengacara Manohara tersebut, melaporkan kasus Manohara pada Mabes Polri bukan pada kepolisan Malaysia. Dalam makalah ini telah diketahui bahwa yurisdiksi kasus Manohara ada pada Malaysia bukan Indonesia. OC Kaligis mengetahui hal tersebut dan telah menyiapkan langkah menuju kepolisian Malaysia. Sebuah keanehan kalau kemudian tim pengacara Manohara yang baru (Hotman dkk) tidak mengetahui persoalan yurisdiksi tersebut. Langkah tim pengacara tersebut lebih berkesan sebagai strategi pengelolaan isu yang menaikan rating Manohara.

Penegakan hukum yang benar malah terjadi pada Siti Hajar dan Modesta. Pihak KBRI di Malaysia telah melaporkan kasus penganiayaan Siti Hajar dan Modesta ke kepolisian Malaysia. Majikan Siti Hajar telah ditahan, sementara majikan Modesta ditangguhkan penahanannya setelah diketahui tengah mengandung bayi. Berbeda dengan Manohara, Siti Hajar dan Modesta sepi dari pengacara. Tak ada pengacara yang berbondong-bondong ingin menjadi kuasa hukumnya. Tim kuasa hukum hanya disiapkan pihak KBRI di Malaysia.

Kesimpulan

Kasus Manohara, Siti Hajar dan Modesta merupakan kejahatan internasional yang penegakan hukumnya dilakukan secara indirect. Yurisdiksi untuk melakukan penegakan hukum dalam kasus tersebut ada pada negara Malaysia.

Indonesia perlu meningkatkan upaya-upaya yang mengarah pada pengurangan dan pengantisipasian terjadinya pengulanga kasus penyiksaan TKW Indonesia (juga terhadap warga negara) di Malaysia.



No comments: